Empati
I.
DEFINISI EMPATI
Empati berasal dari kata empatheia yang berarti ikut merasakan. Istilah tersebut pada
awalnya digunakan oleh para teoritikus estetika untuk pengalaman subjektif
orang lain. Pada tahun 1920-an seorang ahli psikologi Amerika, E. B. Tichener,
untuk pertama kalinya menggunakan istilah mimikri motor untuk
istilah empati. Istilah Tichener menyatakan bahwa empati berasa dari peniruan
secara fisik atas beban orang lain yang kemudian menimbulkan perasaan serupa
dalam diri seseorang.
Empati berkaitan dengan kemampuan individu dalam
mengekspresikan emosinya, oleh karena itu empati seseorang dapat diukur melalui
wawasan emosionalnya, ekspresi emosional, dan kemampuan seseorang dalam
mengambil peran dari individu lainnya. Pada dasarnya, empati merupakan batasan
dari individu apakah ia akan melakukan atau mengaktualisasikan gagasan
prososial yang mereka miliki ke dalam perilaku mereka atau tidak. Hurlock
(1999: 118) mengungkapkan bahwa empati adalah kemampuan seseorang untuk
mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan
diri sendiri di tempat orang lain. Setiap individu menunjukkan rasa empati yang
berbeda-beda dengan adanya regulasi emosi yang mengontrol respon empatik pada
orang lain yang membutuhkan bantuan (Gordon et al., 2013).
Empati diartikan sebagai perasaan simpati dan
perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi pengalaman atau secara
tidak langsung merasakan penderitaan orang lain (Sears & Fredman, 1991) . Hal senada
diungkapkan oleh Hurlock (1999: 118) yang mengungkapkan bahwa empati adalah
kemampuan seseorang untuk mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain serta
kemampuan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang lain. Kemampuan untuk
empati ini mulai dapat dimiliki seseorang ketika menduduki masa akhir
kanak-kanak awal (6 tahun) dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua individu
memiliki dasar kemampuan untuk dapat berempati, hanya saja berbeda tingkat
kedalaman dan cara mengaktualisasikannya. Empati seharusnya sudah dimiliki oleh
remaja, karena kemampuan berempati sudah mulai muncul pada masa kanak-kanak
awal (Hurlock, 1999) . Leiden, dkk (1997:
317) menyatakan empati sebagai kemampuan menempatkan diri pada posisi orang
lain sehingga orang lain seakan-akan menjadi bagian dalam diri. Lebih lanjut
dijelaskan oleh Baron dan Byrne (2005: 111) yang menyatakan bahwa empati
merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa
simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain.
Arwani (2002: 56) menyatakan empati terhadap pasien merupakan perasaan dan
“pemahaman” dan “penerimaan” perawat terhadap pasien yang dialami pasien dan
kemampuan merasakan “dunia pribadi pasien”.
Empati merupakai
kemampuan menempatkan diri dalam pikiran dan perasaan orang lain, tanpa harus
terlibat secara nyata didalamnya (Koestner, 1990) . Kemampuan
untuk berada dalam kondisi perasaan orang lain (in feeling), saat seorang individu memikirkan dirinya berada dalam
posisi o (Arwani, 2002) rang lain dan
membayangkan menjadi orang lain namun tetap mengingat bahwa ia tetap dirinya
sendiri bersama pikiran, perasaan dan persepsinya (Smart, 1980) .
Empati merupakan sesuatu yang jujur, sensitive dan
tidak dibuat-buat didasarkan atas apa yang dialami orang lain. Berdasarkan
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa empati merupakan kemampuan yang
dimiliki individu untuk mengerti dan menghargai perasaan orang lain dengan cara
memahami perasaan dan emosi orang lain serta memandang situasi dari sudut
pandang orang lain.
Sebagaimana yang
dinyatakan Watson dkk (1984, h.290) kemampuan empati adalah kemampuan seseorang
untuk mengenal dan memahami emosi, pikiran, serta sifat orang lain. Kemampuan
tersebut berupa respon emosional yang sangat menyerupai respon emosional orang
lain, namun tidak membuat individu harus benar-benar menyatu dalam emosi,
pikiran dan tindakan orang lain (Tangney, 1991).
Empati merupakan
kemampuan menempatkan diri dalam pikiran dan perasaan orang lain tanpa harus
terlibat secara nyata didalamnya. Dengan empati, seseorang dapat lebih melihat
dirinya sendiri, lebih menyadari serta memperhatikan peran dan sudut pandang
orang lain mengenai suatu masalah.
II.
KOMPONEN AFEKTIF EMPATI
1.
Aspek emphatic concern
2.
Aspek personal distress
III.
KOMPONEN KOGNITIF EMPATI
1.
Aspek perspective taking
Pengambilan
perspektif (perspective taking)
merupakan kecenderungan individu mengambil alih secara spontan sudut pandang
orang lain. Aspek ini mengukur sejauh mana individu memandang kejadian
sehari-hari dari perspektif orang lain.
2.
Aspek fantasy
Fantasi
merupakan kecenderungan untuk mengubah pola diri secara imajinatif ke dalam
pikiran, perasaan dan tindakan dari karakter-karakter khayalan pada buku, film,
dan permainan (Stotland). Aspek ini melihat kecenderungan individu menempatkan
diri dan hanyut dalam perasaan dan tindakan orang lainInvalid source
specified.
IV.
ASPEK-ASPEK EMPATI
Baron dan Byrne (2005: 111) menyatakan bahwa dalam
empati juga terdapat aspek-aspek,
yaitu:
a.
Kognitif Individu yang memiliki kemampuan
empati dapat memahami apa yang orang lain rasakan dan mengapa hal tersebut
dapat terjadi pada orang tersebut.
b.
Afektif Individu yang berempati merasakan
apa yang orang lain rasakan.
Batson dan Coke (Watson, 1984)
menyatakan bahwa di dalam empati juga terdapat aspek-aspek:
a.
Kehangatan
Kehangatan merupakan
suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk bersikap hangat terhadap orang
lain.
b.
Kelembutan
Kelembutan merupakan
suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk bersikap maupun bertutur kata
lemah lembut terhadap orang lain.
c.
Peduli
Peduli merupakan suatu
sikap yang dimiliki seseorang untuk memberikan perhatian terhadap sesame maupun
lingkungan sekitarnya.
d.
Kasihan
Kasihan merupakan suatu perasaan yang
dimiliki seseorang untuk bersikap iba atau belas asih terhadap orang lain.
Aspek-aspek empati yang digunakan dalam
penelitian ini mengacu pada pendapat Watson yang meliputi: kehangatan,
kelembutan, peduli, dan kasihan.
V.
KARAKTERISTIK EMPATI
Empati menekankan pentingnya mengindra perasaan orang
lain sebagai dasar untuk membangun hubungan sosial yang sehat antara dirinya
dengan orang lain. Bila self awareness
terfokus pada pengenalan emosi sendiri, dalam empati, perhatiannya dialihkan
kepada pengenalan emosi orang lain. Semakin seseorang mengetahui emosi sendiri,
semakin terampil pula ia membaca emosi orang lain. Dengan demikian, empati
dapat dipahami sebagai kemampuan mengindera perasaan dari perspektif orang
lain.
VI.
CIRI-CIRI KEMAMPUAN EMPATI
Menurut Golleman terdapat 3 ciri-ciri kemampuan empati
yang harus dimiliki sebagai bagian dari kecerdasan emosional, antara lain:
o Mendengarkan
pembicaraan orang lain dengan baik; artinya, seorang
individu harus mampu memberi perhatian dan menjadi pendengar yang baik bagi
segala permasalahan yang diungkapkan orang lain kepadanya.
o Menerima
sudut pandang orang lain; artinya, individu mampu memandang
permasalahan dari titik pandang orang lain sehingga akan menimbulkan toleransi
dan kemampuan dalam menerima segenap perbedaan.
o Peka
terhadap perasaan orang lain; artinya, individu mampu
membaca perasaan orang lain dari isyarat verbal dan non-verbal, seperti nada
bicara, ekspresi wajah, gerak-gerik, dan bahasa tubuh orang lain.
Inti empati adalah mendengarkan dengan
telinga secara baik dan tepat. Mendengarkan dengan baik diperlukan secara
mutlak demi keberhasilan suatu aktivitas. Orang yang tidak dapat mendengarkan
pembicaraan orang lain dengan baik adalah orang yang acuh tak-acuh dan tak
peduli pada orang lain, yang pada gilirannya akan menyebabkan orang lain enggan
berkomunikasi lagi dengannya. Dan orang yang tampaknya mudah diajak bicara
adalah orang yang bersedia mendengar lebih banyak. Mendengarkan dengan baik dan
mendalam sama artinya dengan memperhatikan lebih dari pada yang dikatakan,
yakni dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, atau mengulang-ulang dengan
kata- kata sendiri apapun yang kita dengar guna memastikan bahwa kita mengerti,
dan upaya mendengar yang baik ini disebut pula dengan “mendengar aktif”. Dan
tanda bahwa kita benar-benar mendengarkan orang lain dengan baik adalah
menanggapi pembicaraannya dengan cermat dan tepat.
Setiap orang mempunyai kemampuan yang
berbeda dalam berempati. Reaksi empati terhadap orang lain seringkali
berdasarkan pengalaman masa lalu. Seseorang biasanya akan merespon pengalaman
orang lain secara lebih empatik apabila ia memiliki pengalaman yang serupa.
Keserupaan empati ini pula yang menyebabkan seseorang memiliki kemiripan
pengalaman kualitas emosi.m Seseorang dapat di katakan memiliki empati jika ia
dapat menghayati keadaan perasaan orang lain serta dapat melihat keadaan luar
menurut pola acuan orang tersebut, dan mengomunikasikan penghayatan bahwa
dirinya memahami perasaan, tingkah laku dan pengalaman orang tersebut secara
pribadi (Asri Budiningsih, 2004).
VII.
EMPATI
VS SIMPATI
Empati berbeda dengan
simpati, perasaan
simpati sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari yang menggambarkan perasaan
seseorang kepada orang lain. Bedanya empati dengan simpati adalah, bahwa empati
lebih memusatkan perasaannya pada kondisi orang lain atau lawan bicaranya dan
sudah ada tindakan dari orang tersebut kepada lawan bicaranya. Sedangkan simpati
lebih memusatkan perhatian pada perasaan diri sendiri bagi orang lain,
sementara itu perasaan orang lain atau lawan bicaranya kurang diperhatikan dan
tidak ada tindakan yang dilakukan.
VIII.
CIRI EMPATI MENURUT GAZDA
Berempati tidak hanya dilakukan dalam bentuk memahami
perasaan orang lain semata, tetapi harus dinyatakan secara verbal dan dalam
bentuk tingkah laku. Tiga ciri dalam berempati menurut Gazda adalah :
1.
Mendengarkan dengan seksama apa yang di
ceritakan orang lain, bagaimana perasaannya, apa yang terjadi pada dirinya,
2.
Menyusun kata-kata yang sesuai untuk
menggambarkan perasaan dan situasi orang tersebut,
3.
Menggunakan susunan kata-kata tersebut
untuk mengenali orang lain dan berusaha memahami perasaan serta situasinya.
IX.
CIRI EMPATI MENURUT T. SAFARIA
Menurut T. Safaria (2005), ciri atau indikator empati
terdiri dari:
1.
Ikut merasakan, merasakan apa yang
dirasakan oleh orang lain;
2.
Dibangun berdasarkan kesadaran diri, ada
kemauan dalam diri seseorang untuk peka terhadap perasaan orang lain;
3.
Peka terhadap bahasa non verbal, seseorang
dapat dikatakan berempati apabila orang tersebut mampu merasakan bahasa non
verbal yang diperlihatkan oleh orang lain;
4.
Mengambil peran, artinya seseorang mampu
mengambil tidakan atas permasalahan yang sedang dihadapinya;
5.
Tidak larut atau tetap kontrol emosi diri,
artinya seseorang dapat mengendalikan diri dalam membantu memecahkan masalah.
X.
CIRI EMPATI MENURUT GOLEMAN
Goleman menyebutkan bahwa ciri-ciri atau karakteristik
orang yang berempati tinggi adalah sebagai berikut:
o
Ikut merasakan (sharing
feeling), yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain;
hal ini berarti individu mampu merasakan suatu emosi dan mampu
mengidentifikasikan perasaan orang lain.
o
Dibangun berdasarkan kesadaran diri.
Semakin seseorang mengetahui emosi diri sendiri, semakin terampil pula ia
membaca emosi orang lain. Dengan hal ini, ia berarti mampu membedakan antara
apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain dengan reaksi dan penilaian
individu itu sendiri. Dengan meningkatkan kemampuan kognitif, khususnya
kemampuan menerima perspektif orang lain dan mengambil alih perannya, seseorang
akan memperoleh pemahaman terhadap perasaan orang lain dan emosi orang lain
yang lebih lengkap, sehingga mereka lebih menaruh belas kasihan kemudian lebih
banyak membantu orang lain dengan cara yang tepat.
o
Peka terhadap bahasa isyarat;
Karena emosi lebih sering diungkapkan melalui bahasa isyarat (non-verbal). Hal
ini berarti bahwa individu mampu membaca perasaan orang lain dalam bahasa
non-verbal seperti ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan gerak-geriknya.
o
Mengambil peran (role
taking); empati melahirkan perilaku konkrit. Jika individu menyadari apa
yang dirasakannya setiap saat, maka empati akan datang dengan sendirinya, dan
lebih lanjut individu tersebut akan bereaksi terhadap isyarat-isyarat orang
lain dengan sensasi fisiknya sendiri tidak hanya dengan pengakuan kognitif
terhadap perasaan mereka, akan tetapi, empati juga akan membuka mata individu
tersebut terhadap penderitaan orang lain; dengan arti, ketika seseorang
merasakan penderitaan orang lain maka orang tersebut akan peduli dan ingin
bertindak.
o
Kontrol emosi;
menyadari dirinya sedang berempati; tidak larut dalam masalah yang sedang
dihadapi oleh orang lain.
XI.
PERKEMBANGAN EMPATI
Menurut Hetherington & Parke (1993), empati
terbagi ke dalam empat tahap perkembangan utama yaitu :
1.
Empati Global (Global Empathy)
2.
Empati Egosentris
(Egocentric Empathy)
3.
Empati Terhadap
Perasaan Orang Lain (Empathy for Another Feeling), dan
4.
Empati untuk
Kondisi Hidup Berbeda (Empathy for
Another Life Condition)
I.
KESIMPULAN
Tenaga perawat sebagai
salah satu tenaga kesehatan memegang peranan penting dalam mencapai tujuan
pembangunan kesehatan. Bahkan WHO menyatakan bahwa perawat merupakan “back
bone” untuk mencapai target-target global, nasional maupun daerah. Hal ini
disebabkan karena perawat merupakan tenaga kesehatan dengan proporsi terbesar,
melayani pasien selama 24 jam secara terus menerus dan berkesinambungan serta
berada pada garis terdepan dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada
masyarakat.
Perawat adalah pekerjaan
kemanusiaan yang dihargai secara professional. Jika pilihan kita menjadi
seorang perawat maka kita akan menghabiskan hidup untuk menolong orang lain,
menggunakan skill, memadukan ilmu dengan caring serta teknologi dan.
Sekurang-kurangnya ada
tiga tata nilai yang harus dimiliki oleh seorang perawat dalam menjalankan
tugasnya memberikan asuhan keperawatan pada paseien yakni caring, empati dan
altruisme. Ketiga nilai ini sangat penting untuk diaplikasikan perawat, sebab
akan berkaitan dengan perkembangan kesehatan pasien. Karena pasien yang sakit
fisik sudah pasti mengalami gangguan emosional, sehingga pendekatan yang
diberikan kepada pasien tidak cukup dengan skin to skin tetapi juga heart to
heart.
Sebagai perawat
dibutuhkan kemampuan khusus yang tidak semua orang memilikinya, yaitu kemampuan
empati. Perawat yang diharapkan memiliki kemampuan empati, yaitu kemampuan
untuk melakukan aksi komunikasi secara sadar kepada pasien sehingga dapat
memahami dan merasakan suasana hati pasien tersebut, mampu melihat permasalahan
dari sudut pandang pasiean, dan tidak bersikap menghakimi,menyalahkan atau
menghina pasien. Perilaku yang muncul dari tiap perawat terhadap pasien berbeda-beda,
hal ini terkait dengan kemampuan empati perawat itu sendiri, adapun yang
mempengaruhi kemampuan empati, yaitu: pikiran yang optimis, tingkat pendidikan,
keadaan psikis (mood), pengalaman, usia, jenis kelamin, latar belakang sosial
budaya, status sosial, dan beban hidup. Faktor-faktor tersebut diperlukan untuk
menunjang perawat dalam meningkatkan kemampuan empati.
Seperti disebutkan
sebelumnya, apabila kondisi fisik seseorang mengalami suatu keadaan sakit, maka
akan mempengaruhi kondisi psikisnya pula, dan biasanya pasien akan lebih labil
emosinya. Nah, tenaga kesehatan khususnya perawat harus peka dengan keadaan
seperti ini, perawat tidak hanya menangani kondisi fisik dari pasien tetapi
kondisi psikisnya juga, dengan berempati kepada pasien maka diharapkan pasien
dapat sembuh lebih cepat.
Daftar Pustaka
Arwani. (2002). Komunikasi dalam keperawatan.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Baron, R. A. (2005). Psikologi sosial. Jilid 2. Alih
Bahasa: Ratna Djuwita. Edisi kesepuluh. Jakarta: Erlangga.
Goleman, D. (1996). Kecerdasan Emosional. Jakarta:
PT. Gramedia Utama.
https://www.kompasiana.com/omi29/56f62627d693733b057225a4/sifat-caring-empati-dan-altruisme-bagi-perawat. (t.thn.).
Hurlock, E. B. (1999). Perkembangan anak. Jilid 2. Alih
Bahasa: Med. Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih. Edisi keenam.
Jakarta: Erlangga.
J.P, T. (1991). Moral affect: the good, the bad, and the
ugly. Journal of Personality and Social Psychology. 61(4), 598-607.
Koestner, R. F. (1990). The family origins of emphatic
concern: a-26 year longitudinal study. Journal of Personality and Social
Psychology. 38(4), p.709-717.
Sears, D., & Fredman, J. d. (1991). Psikologi
sosial. Jilid 2. Alih Bahasa: Michael Adryanto. Jakarta: Erlangga.
Setyawan, I. (t.thn.). Peran kemampuan empati pada efikasi
diri mahasiswa peserta kuliah kerja nyata PPM POSDAYA. Proceeding
Konferensi Nasional II Ikatan Psikologi Klinis-Himpsi ISBN: 978-979-21-2845-1,
296-300.
Smart, M. a. (1980). Children: Development and
Relationship. New York: Colier Mc Millan.
Watson. (1984). Psychology science and application.
Illionis: Scoot Foresmar and Company.
Comments
Post a Comment