Altruisme dalam Keperawatan
Altruisme adalah hasrat
untuk menolong orang lain tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri (Myers, 1996) altruisme
menjadi persoalan
yang penting di zaman sekarang ini, karena
globalisasi telah mengubah “state of nature”
kehidupan masyarakat. Saat ini, kita hidup dalam “a world of strangers”, sebuah dunia di
mana melalui tindakan, baik sengaja maupun tidak, kita dapat mempengaruhi atau bahkan
mengubah nasib manusia lain, manusia yang tak pernah kita jumpai sebelumnya.
Menurut Augusto Comte, Altruisme berasal dari bahasa Perancis, autrui, yang berarti orang lain Altruisme diartikan sebagai “living for others”, yang dalam bahasa
Perancis ditulis sebagai “vivre pour
autrui”. Comte (1973a:566, dikutip dari Campbell 2006:357-369) menyatakan:
“… It follows that happiness and
worth, as well in individuals as
in societies, depend on adequate
ascendancy of the sympathetic
instincts. Thus the expression,
Living for Others, is the simplest
summary of the whole moral code of
Positivism.”
Di dalam karya ini, Comte menekankan
bahwa altruisme merupakan prasyarat moral bagi terbitnya zaman positivisme;
zaman di mana manusia mencapai tingkat tertinggi dalam rasionalitasnya. Hal itu
sekaligus tanda menguatnya humanisme karena keberhasilan mengatasi beban dari
“tahap pengetahuan teologis” dan “tahap pengetahuan transendental” dari masa
sebelumnya. (Robert, Januari 2013)
Menurut
Comte altruisme
merupakan syarat antropologis dari masyarakat baru. Altruisme diperlukan
sebagai “civic”, identitas kewargaan dan syarat bagi berdirinya suatu masyarakat.
Menurut
Baron dan Byrne (1996) altruisme merupakan bentuk khusus dalam penyesuaian
perilaku yang ditujukan demi kepentingan orang lain, biasanya merugikan diri
sendiri dan biasanya termotivasi terutama oleh hasrat untuk meningkatkan
kesejahteraan orang lain agar lebih baik tanpa mengaharapkan penghargaan.
Menurut Mandeville,
dkk (dalam Batson&Ahmad, 2008) altruisme yang memiliki motivasi dengan
tujuan akhir meningkatkan kesejahteraan
orang lain tidak mungkin terjadi. Menurut
mereka, motivasi untuk
semua hal didasari oleh egoistic. Tujuan akhir selalu untuk meningkatkan
kesejahteraan pribadi “seseorang menolong orang lain hanya untuk keuntungan
dirinya”. Tetapi hal tersebut dibantah
oleh penelitian yang dilakukan
oleh Baston&Ahmad (2008),
yang menyatakan bahwa altruisme
itu ada dan
dapat dikembangkan dengan
empati.
Menurut Baston
(2002) (dalam Carr, 2004),
altruisme adalah respon yang
menimbulkan positive feeling,
seperti empati. Seseorang yang altruis memiliki motivasi altruistik,
keinginan untuk selalu
menolong orang lain.
Motivasi altruistik tersebut muncul
karena ada alasan
internal di dalam dirinya
yang menimbulkan positive feeling
sehingga dapat memunculkan
tindakan untuk menolong
orang lain. Ada tiga komponen dalam altruisme, yaitu loving others, helping
them doing their
time of need,
dan making sure that
they are appreciated.
CIRI-CIRI
ALTRUISME
Fuad Nashori mengutip Cohen yaitu ada
tiga ciri altruisme, yaitu.
1.
Empati
2. Keinginan
memberi
3.
Sukarela
FAKTOR-FAKTOR ALTRUISME
Menurut
Faturochman bahwa perilaku menolong itu dipicu oleh factor-faktor :
1.
Situasi
sosial
2.
Biaya
menolong
3.
Norma
Menurut Sarlito bahwa
perilaku menolong itu dipicu oleh faktor dari luar atau dari
dalam diri sendiri :
1. Suasana Hati
2. Empati
3. Meyakini Keadilan Dunia
4. Faktor Sosiobiologis
5. Faktor Situasional
KARAKTERISTIK ALTRUISME
Selain hal
tersebut, Myer (1996)
menjelaskan karakteristik dari
tingkah laku altruisme, antara
lain adalah sebagai berikut :
1.
Emphaty,
altruisme akan terjadi dengan adanya empati dalamdiri seseorang.
Seseorang
yang paling altruis
merasa diri mereka
bertanggungjawab,
bersifat
sosial, selalu menyesuaikan
diri, toleran, dapat mengontrol
diri,
dan termotivasi membuat kesan yang baik.
2.
Belief on a
just world,
karakteristik dari tingkah
laku altruisme adalah
percaya pada “a just world”, maksudnya adalah orang yang
altruis percaya
bahwa dunia adalah tempat
yang baik dan dapat diramalkan bahwa
yang
baik selalu mendapatkan
”hadiah” dan yang
buruk mendapatkan
”hukuman”. Dengan kepercayaan tersebut, seseorang dapat
denga mudah
menunjukkan
tingkah laku menolong
(yang dapat dikategorikan
sebagai
”yang baik”).
3.
Social responsibility, setiap orang bertanggungjawab terhadap apapun yang
dilakukan
oleh orang lain,
sehingga ketika ada
seseorang yang
membutuhkan pertolongan, orang tersebut harus
menolongnya.
4.
Internal LOC,
karakteristik selanjutnya dari
orang yang altruis adalah
mengontrol
dirinya secara internal.
Berbagai hal yang
dilakukannya
dimotivasi oleh kontrol internal (misalnya kepuasandiri).
5.
Low egocentricm, seorang yang
altruis memiliki keegoisan
yang rendah.
Dia
mementingkan kepentingan lain
terlebih dahulu dibandingkan
kepentingan dirinya.
Alturisme
sangat diperlukan oleh seorang perawat, selain nilai-nilai luhur, dalam diri
seorang perawat juga harus tertanam sikap altuarisme sehingga dalam
menjalankan profesi tertanam
nilai-nilai kemanusiaan yang
tinggi serta tertanam
keinginan untuk menjalani profesi
dengan sungguh-sungguh dengan harapan mengangkat citra perawat di masyarakat.
Perawat
yang memiliki sikap altruisme mempunyai
tingkat sensitifitas yang
tinggi, Sehingga berkurang
sifat keragu-raguan saat menolong
pasien yang membutuhkan,
berkurang dalam bertindak agresif,
lebih mudah untuk
memaafkan individu lain,
lebih bertindak kooperatif dalam
menghadapi suatu konflik,
lebih banyak melakukan
tindakan positif, memiliki
kepedulian yang lebih sensitif dan responsif dalam berhubungan dengan individu
lain, dan lebih bahagia dalam menjalani hidup (Batson, 2011).
Dan
akibat
dari kurang berkembangnya altruisme yang
dimiliki perawat menyebabkan muncul
perilaku seperti kurang
peduli terhadap pasien,
keluhan pasien tidak
segera ditangani, bersikap kasar,
galak, sehingga kebutuhan
pasien tidak terpenuhi
dan mempengaruhi citra perawat di rumah sakit. Perawat yang memiliki altruisme dapat
mendorong pasien untuk segera sembuh dari penyakit yang diderita.
Pernyataan tersebut didukung oleh
penelitian Nurqonitatin (2006) yang
telah membuktikan bahwa
perilaku altruistik yang
dimiliki perawat mampu meningkatkan motivasi
pasien untuk segera
sembuh. Berlainan dengan
kondisi tersebut, perawat yang
memiliki altruisme yang rendah dapat memberikan kesan buruk bagi pasien,
sehingga motivasi pasien untuk sembuh berkurang.Kondisi sakit
yang dialami pasien
mempengaruhi berkurangnya fungsi
fisik, emosional, perkembangam,
atau spiritual individu.
Perubahan emosi dan
perilaku pasien dapat berupa
kecemasan, syok, penolakan, menarik diri, dan marah (Potter &
Perry, 2005).
Perawat perlu
mengambil sikap positif
dalam menghadapi perubahan
emosi dan perilaku pasien tersebut.
Salah satu bentuk
sikap positif yaitu
self-compassion.
Self-compassionmerupakan
sikap tersentuh dan
terbuka atas penderitaan
sendiri, bukan menghindari
atau melepaskan dari penderitaan
tersebut, menghasilkan keinginan
untuk meringankan penderitaan
individu dan menyembuhkan diri sendiri dengan kebaikan (Amstrong, 2013)
Daftar Pustaka:
Amstrong, K. (2013). Compassion: 12 langkah menuju hidup berbelas kasih.
(Alih Bahasa
oleh Liputo, Y.). Bandung: Mizan.
Batson, C. D. (2011).
Altruism in humans. New York: Oxford University Press.
Campbell, Robert L. 2006. “Altruism in Auguste Comte and Ayn Ra nd ".
The Journal of
Ayn Rand Studies, Vol. 7 (2).
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI/195009011981032-RAHAYU_GININTASASI/agresi_dan_altruisme.pdf. (n.d.).
Nurqonitatin, A. (2006).
Hubungan Perilaku Altruistik
Perawat terhadap Motivasi
untuk
Sembuh pada Pasien (Suatu Studi di Ruang Airlangga dan
Ruang Fatahillah di RSD
Kabupaten
Malang. Karya Tulis
Ilmiah. Malang: Universitas
Muhammadiyah
Malang.
Potter, P. A. & Perry, A. G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan:
Konsep, Proses,
dan Praktik. Alih
bahasa oleh Yasmin
A., Made S.,
Dian E., Laily
M., Ellen P.,
Kusrini, Sari K., & Enie N. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Robert, R. (Januari 2013). Altruisme, Solidaritas, dan
Kebijakan Sosial. Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 18, No. 1, 1-18.
Comments
Post a Comment